Sementara itu, operator terminal peti kemas menyampaikan rencana konsolidasi penuh aktivitas bongkar muat menuju MNP pada 2027, mengingat kapasitas Terminal Peti Kemas Makassar (TPM) yang hanya sekitar 700 ribu TEUs per tahun tidak lagi memadai terhadap laju pertumbuhan arus barang.
Peningkatan kapasitas ini, jika disertai tata kelola antrian, integrasi hinterland, dan reliabilitas koneksi jalan dan kereta, berpotensi menurunkan biaya logistik regional dan mempercepat rotasi kontainer lintas kepulauan.
Program nasional yang menopang dimensi pemerataan—yakni tol laut—tetap relevan untuk Sulawesi Selatan yang menjadi simpul distribusi bagi wilayah timur.
Evaluasi Kementerian Perhubungan beberapa tahun terakhir menunjukkan program ini berkontribusi pada peningkatan volume distribusi logistik nasional dan penurunan disparitas harga di wilayah timur; dua mekanisme subsidi diterapkan untuk efisiensi, yakni subsidi pengoperasian kapal dan subsidi pemanfaatan ruang muat kapal komersial.
Sekalipun narasi ini berskala nasional dan lintas waktu, pelajaran kebijakan yang diusung tetap aktual: skema subsidi harus fleksibel terhadap musim dan profil muatan, agar benar-benar menyasar pulau-pulau dengan akses paling terbatas tanpa mengunci pasar pada struktur biaya yang tidak efisien.
Dinamika penumpang dan kapasitas pelabuhan tidak berdiri sendiri; ia berkelindan dengan stabilitas harga dan iklim usaha daerah.
Ketika BPS mencatat inflasi tahunan Sulawesi Selatan pada Juni 2025 sebesar 2,24 persen, implikasi bagi kebijakan transportasi adalah kebutuhan menjaga pasokan dan biaya distribusi yang terkendali, terutama bagi bahan pangan dan kebutuhan pokok yang sensitif terhadap ongkos pelayaran.
Dengan perbaikan keandalan layanan laut dan integrasi logistik darat-laut, tekanan biaya di hulu dapat diredam sebelum merambat ke harga eceran.
Mengarusutamakan keberlanjutan dalam “Sulsel Terkoneksi” menuntut pergeseran fokus dari sekadar ekspansi menjadi orkestrasi.
Orkestrasi berarti menata agar trayek kapal perintis, penyeberangan, dan logistik kontainer saling mengunci dalam sebuah jadwal yang reliabel, dengan titik simpul yang kuat dan pengumpan yang hidup.
Di kawasan Bajoe–Kolaka, Makassar–Selayar, dan Pare-Pare–wilayah utara, koneksi laut harus ditopang koneksi darat yang memadai serta tatakelola jadwal yang memudahkan perpindahan antarmoda tanpa waktu tunggu yang membebani.
Prinsip efisiensi yang ditekankan dokumen teoritik—beroperasi secara hemat, mengurangi ketergantungan pada moda berbiaya tinggi, dan mendorong penggunaan angkutan umum—perlu diterjemahkan dalam desain jaringan yang memangkas biaya transaksi penumpang dan pelaku usaha.
Di laut, efisiensi itu hadir sebagai jadwal yang pasti, kapal yang terpelihara, dan fasilitas bongkar muat yang serba guna; di darat, ia tampil sebagai akses jalan pelabuhan yang bebas hambatan, layanan angkutan lanjutan yang terjangkau, dan platform informasi digital yang menyatukan tiket, jadwal, serta pelacakan muatan.
Aspek lingkungan menuntut kebijakan yang konkret dan bertingkat. Untuk armada penyeberangan jarak menengah, pemerintah daerah dapat mendorong pilot project hibrida bahan bakar rendah emisi, memanfaatkan insentif pusat dan kerja sama operator.
