Bisnis.com, JAKARTA – Pengusaha logistik melihat masih ada harapan pada 2021 setelah pandemi Covid-19 mewarnai 2020. Namun, memulai 2021 pun tidak mudah mengingat adanya tantangan daya saing dari kelangkaan kontainer untuk kebutuhan ekspor.
Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi menuturkan pada pertengahan Oktober 2020, ditandatangani Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) oleh 15 negara yang terdiri dari 10 negara Asean ditambah China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
RCEP juga menyampaikan ukuran-ukuran ekonomi dari fakta ke 15 negara tersebut antara lain merepresentasikan 29,6 persen populasi dunia, 27,4 persen perdagangan dunia, dan 30,2 persen PDB dunia serta 29,8 persen foreign direct investment (FDI) dunia.
“Hal tersebut menunjukkan market size yang sangat besar, termasuk kesempatan yang juga besar, sehingga isu-isu mengenai daya saing menjadi keniscayaan,” ungkapnya pada Jumat (1/1/2021).
Sementara itu, memasuki kuartal IV/2020, pebisnis logistik dan pemangku kepentingan terkait dikejutkan dengan persoalan international shipment yang dipicu masalah kelangkaan peti kemas atau kontainer.
Padahal selama ini, international shipment sangat dipengaruhi oleh perdagangan dari dan ke Amerika Serikat. Di sisi lain, angkutan intra Asia dianggap kurang menguntungkan (shallow margin) sehingga secara urutan daya tarik angkutan adalah menuju AS, Eropa, baru kemudian Intra Asia.
“Kelangkaan peti kemas juga dialami sejumlah negara di Asia termasuk Indonesia yang disebabkan salah satunya akibat faktor menurunnya perdagangan global termasuk aktivitas ekspor AS mengakibatkan industri shipping global melakukan rasionalisasi biaya dengan melakukan pending shipment/omission,” urainya.
Persoalan tersebut semakin rumit, tatkala importasi oleh AS yang tidak diimbangi dengan kegiatan ekspornya, sehingga mengakibatkan peti kemas eks-impor tertahan di negara itu dan terjadi kelangkaan peti kemas secara global, termasuk di Indonesia.
Di sisi lain, wacana intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah kelangkaan peti kemas tersebut kurang efektif apabila menggunakan insentif karena memerlukan biaya besar. Pasalnya, kondisi semacam ini secara alami akan normal lagi pada saat perdagangan dunia sudah pulih kembali sesuai mekanisme pasar.
“Mahalnya angkutan untuk international shipment atau incompetitiveness angkutan dari dan ke Indonesia, cenderung dipengaruhi perilaku industri dan perdagangan Indonesia, dimana importasinya adalah heavy cargo yang menggunakan peti kemas berukuran 20 feet, sementara untuk ekspor umumnya menggunakan peti kemas 40 feet seperti pada pengapalan komoditi alas kaki, elektronik dan furniture,” ucapnya.
Dengan demikian, Yukki yang juga menjabat Chairman Asean Federation of Forwarders Association (AFFA) menilai setiap kali kegiatan impor harus merepo (mengembalikan dan mengambil ke depo) peti kemas 20 feet dan untuk keperluan ekspor harus mendatangkan peti kemas kosong 40 feet yang semuanya diperhitungkan dalam tarif angkut atau freight.
“Namun, di balik semua tantangan dan persoalan yang telah sama-sama kita hadapi di sepanjang tahun 2020, dapat diambil hikmahnya sebagai modal motivasi pelaku usaha khususnya di sektor logistik dalam melangkah pada 2021,” paparnya.
Sumber : https://ekonomi.bisnis.com/read/20210101/98/1337634/masuki-2021-sektor-logistik-terhambat-urusan-kontainer-ekspor-langka